Selamat Datang di Blog resmi Perguruan Mathla'ul Anwar Pusat Menes

BERANDA

Selasa, 01 November 2011


PERAN BESAR GURU AGAMA
Oleh: Drs. Jihaduddin, M.Pd.

Dewasa ini guru agama, bukan hanya berperan sebagai pengajar dalam arti yang sempit (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pendidik (transfer of values). Di samping itu, ia harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin, pengelola, pembimbing dan fasilitator guna memudahkan proses pembelajaran pendidikan agama, atau diistilahkan sebagai leader of learning, director of learning, manager of learning, dan sekaligus facilitator of learning. Dengan peranan tersebut, guru agama diharapkan mampu membangkitkan sikap religius peserta didik. Peserta didik diharapkan mampu merespon perubahan jaman yang terjadi, tetapi tidak terbawa arus perubahan dunia yang semakin global (Arifin, 1993).

Namun dalam kenyataannya, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di sekolah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu membentuk kepribadian peserta didik secara utuh. 

Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus kenakalan peserta didik dalam berbagai bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun kenakalan remaja tidak semata-mata disebabkan oleh pendidikan agama yang gagal, tetapi sering kali guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya akhlakul karimah, sehingga apabila terjadi kenakalan peserta didik, guru agama sering menjadi sasaran. Persepsi ini tidak selamanyabenar, dan juga tidak semuanya salah. Karena guru agama dianggap sebagai “penjaga moral” di lingkungan sekolah, sehingga baik buruknya akhlak siswa sering dialamatkan kepada guru agama.


Dalam perspektif pembelajaran menunjukan bahwa, guru agama dalam membelajarkan agama selama ini masih dianggap kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya. Karena pembelajaran agama yang dilakukan secara indoktrinatif-normatif, sehingga tidak mampu menyenternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik dan akibatnya peserta didik tidak mampu menjadikan agama sebagai pedoman hidup sehari-hari.

Di samping itu keagagalan pembelajaran agama adalah karena lebih menekankan pada aspek ibadah dan syariah sementara pembelajaran akhlak kurang mendapat perhatian. Akibatnya peserta didik punya semangat beribadah dan mengerti tentang hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Pembelajaran agama sering dipersepsi oleh peserta didik sebagai ilmu yang tidak mempunyai nilai praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama dengan ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama harus diletakkan dalam kerangka fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek riil peserta didik dengan meninggalkan model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar peserta didik mampu menghadapi dunia dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh gemerlapnya dunia yang menyesatkan.

Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru agama harus mampu menjadikan pendidikan agama fungsional dalam kehidupan dan bersemayam dalam nurani peserta didik. Permasalahannya adalah, bagaimana upaya guru agama dalam membelajarkan agama, sehingga peserta didik dengan kesadaran diri mampu menanggulangi pengaruh budayanegatif? Pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini.

Kebiasaan Negatif: Sebuah Realitas Sosial
Dengan melihat realitas, kita akan menyaksikan betapa runyamnya pelanggaran nilai-nilai agama di belahan muka bumi ini yang dilakukan oleh anak-anak "terpelajar". Misalnya, pelanggaran yang terjadi di Amerika Serikat. Sebagaimana penelitian Murphy (1998), bahwa para peserta didik di sekolah Amerika sering melakukan tindakan negatif, seperti: kekerasan dan perusakan (violence dan vandalism), pencurian (stealing), penipuan (cheating), ketidaksopnan pada kewibawaan (disrespect for authority), kekejaman kelompok (peer cruelty), keras kepala (bigotry), bahasa yang jelek atau ucapan kotor (bad language), penyimpangan seksual dan minuman keras (sexual precocity and abuse), peningkatan pemusatan diri dan kurangnya tanggungjawab sebagai warga negara (increasing self-centeredness and declining civic responsibility), dan tingkah laku merusak diri (self-destructive behavior). Tindakan-tindakan tersebut, kalau kalau kita cermati, ternyata sudah hadir di sekitar kita dan menjadi permasalahan sosial tersendiri.

Bahkan pada tahun-tahun terakhir ini di Indonesia, ada fenomena kekerasan yang terjadi terus-menerus dan di mana-mana dalam skala yang makin luas dan serius. Semua itu seolah menjadi tontonan seluruh penduduk bumi dan memberikan gambaran yang buruk mengenai citra Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang sedang berusaha untuk menuju masyarakat madani. Mengapa semua itu bisa terjadi pada bangsa kita, yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah, suka bergotong royong, suka bertoleransi, suka hidup dalam damai dan kerukunan, dan berbudaya tinggi?

Dalam skala mikro di sekolah, sering terjadi pula kenakalan peserta didik yang cukup membuat prihatin. Misalnya, berpindah-pindah tempat duduk, ramai, gelisah dalam ruangan, menganggu teman, memukul/bertengkar, mengabaikan pendidik, mengeluh, bertengkar yang keterlaluan, mencuri, dan merusak benda-benda dalam ruangan. Kondisi tersebut mempertegas bahwa pendidikan agama yang diberikan guru agama di sekolah belum menjadi sesuatu yang menjadi pengendali dari perbuatan-perbuatan negatif.

Kenakalan atau pelanggaran tersebut, semakin lama bukan semakin berkurang, tetapi justru semakin menunjukkan intensitas yang tinggi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh arus globalisasi dan informasi yang semakin menguat, yang ditunjukkan dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi. Akibatnya, nilai dan norma dunia cepat menyebar. Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya sikap konsumerisme dan materialisme. Keberhasilan hanya akan diukur berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi dan kebendaan serta kebenaran hanya diukur dengan kepentingan dan hak-hak individu, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan hak orang lain. Sikap tersebut secara perlahan dan terus-menerus mengikis nilai-nilai luhur bangsa, tidak hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah menyentuh desa-desa yang terpelosok sekalipun. Oleh sebab itu, pendidikan agama dewasa ini me nghadapi tantangan yang luar biasa berat, terutama dalam membangun kehidupan bersama yang damai dan aman yang bersendikan nilai-nilai religius.

Arus globalisasi tidak mungkin dibendung, karena merupakan keharusan sejarah, yang mesti akan hadir dalam relung kehidupan setiap bangsa dan negara. Untuk itu, upaya membangun filter dalam rangka menyaring berbagai informasi negatif merupakan kebutuhan vital. Di sinilah pentingnya para guru agama menghayati peran dan fungsinya, agar pendidikan agama yang dibelajarkan mampu menghadapi realitas sosial tersebut.

Guru Agama dan Peran Pembelajaran
Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas sosial yang semakin meningkat intensitasnya tersebut, guru agama harus mampu berperan secara optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran Tilaar (1998), paling tidak ada tiga fungsi guru agama, yaitu: (1) sebagai agen perubahan, (2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3) seorang pendidik profesional.

Pertama, sebagai agen perubahan. Dalam masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk menjadi agen perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan peserta didik (generasi muda) bahkan masyarakat pada umumnya, seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur yang paling terdepan dan strategis dalam membawa peserta didik menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya selalu bersendikan.
Kedua, sebagai pengembang sikap moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini masalah kerjasama antar peserta didik mulai terabaikan. Pertengkaran antar teman terjadi di mana-mana, baik di sekolah maupun luar nilai-nilai religius sekolah. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini, tidak mustahil akan muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman keras di lingkungan sekolah. Dalam kondisi yang demikian, peran guru agama sangat diperlukan untuk menanamkan sikap saling pengertian dan toleransi terhadap sesama peserta didik. Di sinilah diperlukan hubungan antar peserta didik yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan dan kekurangan diantara sesama peserta didik tanpa memandang perbedaan kelas sosial, agama, suku, ras, dan asal usulnya. Untuk itu sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada peserta didik adalah sikap moral sebagai berikut: (1) tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) (baik sangka) khusnudhon, (3) menghargai diri dan orang lain, (4) menerima tanggungiawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif terhadap pendidik dan teman sekelas, (6) menjaga milik sendiri dan menjaga milik teman lain, (7) ketepatan waktu mengerjakan tugas pelajaran, dan (8) jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan orang lain (Al-Maududi, 1983).

Ketiga, seorang pendidik profesional. Guru agama adalah salah satu pendidik pada suatu institusi pendidikan. Dia dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi (Glickman, dalam Bafadal, 1999). Dengan kata lain, guru agama dikatakan profesional kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki komitmen yang tinggi untuk mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guru agama yang profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya adalah dia harus selalu mengembangkan tingkah laku dan tindakan strategis yang cermat dalam upaya membangun ruh islamiyah dan uswah hasanah di lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan cerdas. Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-sungguh, cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca “tanda-tanda zaman”. Artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang dalam upaya pembentukan jiwa religius peserta didik.

Untuk mendukung tiga fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sebagai berikut: (1) kepribadian yang matang dan berkembang. Artinya seorang guru agama mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing peserta didiknya yang sedang dalam tahap perkembangan fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan mempunyai visi tentang etika tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat; (2) penguasaan ilmu dan teknologi yang kuat. Artinya guru agama dituntut untuk mampu membawa peserta didik memasuki dunia ilmu dan teknologi yang terus berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi yang kuat, mustahil ha1 itu dapat dilakukan; (3) ketrampilan membangkitkan minat peserta didik. Artinya penguasaan metodologis bagi guru agama sangat diperluka n untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan prakarsa belajar agama peserta didik dan (4) pengembangan profesi yang berkesinambungan, artinya seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan dengan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, karena ilmu pendidikan dan keguruan serta teknologi terus berkembang pesat (Ghofir, 1999).

Apabila guru agama dapat melaksanakan peran dan fungsi tersebut, maka tidak mustahil pembelajaran pendidikan agama akan memberikan hasil yang optimal, yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi muslim peserta didik. Dengan demikian, budaya-budaya negatif yang muncul di sekolah dapat ditekan seminimal mungkin.

Peran Guru Agama dalam menanggulangi kebiasaan negatif
Sebagai guru agama harus dan menyadari bahwa dia akan selalu menghadapi persoalan kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab profesi, yaitu: Pertama, persoalan peserta didik dengan segala latar belakangnya,metode dengan segala ragamnya, dan kurikulum dengan segala perangkatnya dan keharusan peningkatan kualitas dan profesionalisme, terutama masalah pendidikan dan pembelajaran yang kadang-kadang tidak sebanding dengan tanggungjawab yang diembannya, yaitu membentuk kepribadian peserta didik.

Kedua, di tangan guru agama perubahan anak manusia sebagian diserahkan untuk pembinaan spiritual dan moral, di samping orang tua di rumah. Sebab berdasarkan kajian psikologis, bahwa pengalaman seseorang sepanjang hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh pengalaman dia di sekolah. Ini memberikan implikasi bahwa guru agama harus siap berjuang dan mempunyai ghirah keilmuan dan keagamaan yang tinggi serta cinta terhadap tugasnya. Karena dia dituntut untuk dapat melahirkan anak bangsa menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan bermoral serta spiritual yang kokoh.

Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI) mengatakan agar para guru agama tidak hanya sekedar melakukan transformasi pengetahuan, tetapi juga melakukan tran-saksi dan trans-internalisasi. Karena pendidikan agama selama ini masih lebih banyak bersifat transformasi dengan dukungan profesionalisme, sehingga hasilnya adalah banyak peserta didik yang "pinter tapi ora bener” (bahasa Jawa), atau pandai tapi komitmen keislamannya relatif rendah (Muhaimin, 1992). Untuk itu agar tercipta peserta didik yang "pinter lan bener’, maka pendidikan agama harus diberikan secara mantap dan langsung menyentuh pada kepribadian peserta didik.

Namun demikian, upaya ini tidak akan berhasil kalau tidak dilakukan secara kolektif oleh semua guru di sekolah. Untuk itu, suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah para guru agama perlu bekerjasama dengan guru-guru "non-agama"atau guru umum dalam aplikasi dan implementasi Pendidikan Agama sehari-hari. Para guru agama perlu mengetahui nilai-nilai apa yang dapat dikenalkan pada diri peserta didik melalui kegiatan pendidikan di luar Pendidikan Agama, seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, dan Pendidikan Jasmani.

            Penanaman nilai-nilai tersebut, termasuk nilai yang mendasari kehidupan ilmu dan teknologi serta nilai pengaturan perubahan sosial budaya, akan lebih berhasil kalau dilaksanakan sebagai upaya kolektif, tanpa harus membebankan kepada guru agama semata (Muhaimin, 1992). Dengan ini diharapkan akan tercipta kegiatan afektif, dimana peserta didik akan mempunyai kemampuan mempersepsi ilmu dan teknologi serta keadaan lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normal.Agama, sehingga peserta didik memiliki nilai dan sikap dasar mengenai etika sosial, pandangan hidup, dan etos dunia yang berasal dari kesadaran religius.

Meskipun sebagai upaya kolektif, guru agama harus tetap sebagai pioner pendidikan agama, karena mereka merupakan “penjaga moral” di sekolah. Untuk itu, guru agama dituntut untuk selalu mengembangkan perkembangan ilmu dan teknologi yang bersendikan nilai-nilai islami, sehingga terdapat suasana yang komunikatif-religius dengan peserta didiknya. Hal inilah yang akan membawa guru agama semakin eksis dan dicintai oleh peserta didiknya. Karena itu, guru agama dalam mengikuti perkembangan zaman dituntut untuk mempunyai ide dan pikiran yang dinamis, produktif dan inovatif, sehingga peserta didik dalam pemahaman ilmu dan agamanya akan lebih kritis kemampuan profesional, intelektual, moral dan spiritual untuk merangsang terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, sehingga agama fungsional pada diri peserta didik.

Untuk mewujudkan semua itu, guru agama harus membekali diri dengan seperangkat nilai, sikap, dan ketrampilan yang mencakup: kepandaian, ketrampilan, ketelitian, kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, keterbatasan, kehormatan diri, dan ketaatan menjalankan perintah agama, sehingga guru agama dapat menjadi uswah hasanah dan menjadikan peserta didik ber-akhlakul karimah. Akhlakul kurimah tidak hanya sekedar peserta didik dapat membedakan baik-buruk tetapi lebih dari pada itu, akhlakul karimah dapat tercemin dalam pribadi yang mandiri, jujur, disiplin, bertanggungjawab, tidak pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, dan suka bekerja keras (Mudzhar, 1992).

Secara praktis-pragmatis, bekal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam menjalankan tugas mendidik, mengajar dan memimpin dalam menghadapi berbagai perilaku negatif di sekolah adalah:

  1. Guru agama harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan informasi yang ada di sekitarnya, guna dimanfaatkan untuk memudahkan pekerjaannya. Pengetahuan dan pemahaman akan infomasi yang berkembang dapat memudahkan guru agama untuk mengantisipasi dampak negatif yang mungkin dapat dibawa oleh informasi itu ke sekolah.

  1. Guru agama harus memahami: (a) tahaptahap perkembangan berfikir moral, dan kepercayaan eksistensial peserta didik, (b) strategi membelajarkan peserta didik berdasarkan kemajuan tingkat-tingkat kognitif, efektif, dan psikomotorik, (c) budaya de-humanisasi, perbudakan dan keberhalaan yang terkandung dalam benda-benda teknologi, dan (d) bahwa pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, dan secara komplementer akan sejalan dengan pembelajaran pada bidang ilmu, kesenian, dan kesusilaan.

  1. Guru agama harus memahami bahwa pembelajaran yang berfokus pada kemajuan kepercayaan eksistensial tidak berada dalam suasana vakum/kosong, tetapi teruji dengan berbagai benda, perilaku, norma, nilai, ide, dan simbol modem masyarakat industri. Disilah diperlukan kearifan bagi guru agama dalam menterjemahkan produk-produk industri modern, supaya tidak terbawa pada sikap konsumerisme dan hedonisme.

  1. Guru agama harus memahami bahwa, pemilihan unsur-unsur budaya manapun, dan pilihan strategi, metode, dan teknik pembelajaran apapun, tolok ukur keberhasilannya adalah dampak pengiring yang mewujudkan pribadi muslim atau anak shaleh yang termanifestasikan pada pribadi umat yang dewasa (Dimyati, 1995).

Apabila guru agama dapat melaksanakan hal tersebut, akan melahirkan optimisme bahwa lembaga pendidikan yang dibina, dimanapun juga, akan menjadi pilihan umat. Untuk itu, menjadi pilihan umat dan selalu memberikan yang terbaik kepada semua umat harus menjadi bagian penting dalam hidup seorang guru agama dan komitmen itu harus selalu bersemayam dalam nuraninya.

Penutup
Karena tantangan global sering menyebabkan budaya negatif di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, maka guru agama harus membekali diri dengan seperangkat kemampuan agar mampu memberikan filter yang dapat digunakan untuk menyaring berbagai budaya tersebut. Keunggulan guru agama bukan terletak semata-mata pada pendidikan tinggi, tetapi pada dedikasi dan pengabdian yang ditopang dengan profesionalisme dan wawasan yang luas. Apabila guru agama mampu memenuhi hal tersebut, paling tidakakan mampu melaksanakan penggilan suci dalam menyiapkan peserta didik menjadi unggul dalam intelektual, moral, dan spiritual. Untuk itu, semua tugas dan tanggungjawab yang diemban, meskipun dianggap gagal, janganlah dijadikan beban, tetapi harus dinikmati sebagai panggilan suci semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Semoga kita selalu mendapatkan lindungan dan ridla-Nya. Amin.

  • Penulis, Dekan Fakultas Agama Universitas Mathla’ul Anwar Banten. Ketua Perguruan Mathla’ul Anwar Pusat Menes.
  • Tulisan ini telah diterbitkan/dipublikasikan di harian Kabar Banten pada tanggal 31 Oktober 2011 dan 01 November 2011.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar