PERAN BESAR GURU AGAMA
Oleh: Drs. Jihaduddin,
M.Pd.
Dewasa ini guru
agama, bukan hanya berperan sebagai
pengajar dalam arti yang sempit (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai
pendidik (transfer of values). Di samping itu, ia harus juga memainkan peranan sebagai pemimpin,
pengelola, pembimbing dan fasilitator guna
memudahkan proses pembelajaran pendidikan agama,
atau diistilahkan sebagai leader of
learning, director of learning, manager of learning, dan
sekaligus facilitator of learning. Dengan peranan tersebut,
guru agama diharapkan mampu membangkitkan sikap religius peserta didik. Peserta didik diharapkan mampu merespon
perubahan jaman yang
terjadi, tetapi tidak terbawa arus perubahan dunia yang semakin global (Arifin, 1993).
Namun dalam kenyataannya, guru agama dalam membelajarkan pendidikan agama di
sekolah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Guru agama belum mampu membentuk
kepribadian peserta didik secara utuh.
Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus kenakalan
peserta didik dalam berbagai bentuknya, baik di sekolah maupun luar sekolah. Meskipun kenakalan
remaja tidak semata-mata disebabkan oleh pendidikan
agama yang gagal, tetapi sering kali guru agama menjadi “tumpuan harapan” terbentuknya
akhlakul karimah, sehingga
apabila terjadi kenakalan peserta didik, guru agama
sering menjadi sasaran. Persepsi ini tidak selamanyabenar, dan juga tidak
semuanya salah. Karena guru agama
dianggap sebagai “penjaga moral” di
lingkungan sekolah, sehingga baik buruknya akhlak siswa
sering dialamatkan kepada guru agama.
Dalam perspektif
pembelajaran menunjukan bahwa, guru agama dalam membelajarkan agama selama ini masih dianggap
kurang berhasil dan belum memenuhi logika zamannya. Karena pembelajaran agama
yang dilakukan secara indoktrinatif-normatif, sehingga tidak mampu
menyenternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik dan akibatnya
peserta didik tidak mampu menjadikan agama sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Di samping itu keagagalan pembelajaran agama adalah karena lebih menekankan
pada aspek ibadah dan
syariah sementara pembelajaran akhlak kurang mendapat perhatian.
Akibatnya peserta didik punya semangat beribadah dan mengerti tentang
hukum-hukum agama, tetapi perilakunya banyak menyimpang. Pembelajaran agama sering
dipersepsi oleh peserta didik sebagai ilmu yang tidak
mempunyai nilai praktis-problematis dalam kehidupan, sehingga “diperlakukan” sama
dengan ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, paradigma pendidikan agama
harus diletakkan dalam kerangka fungsional-kontekstual yang mampu menyentuh aspek-aspek
riil peserta didik dengan meninggalkan model tekstual-normatif. Dengan ini diharapkan agar
peserta didik mampu menghadapi dunia dengan terbuka, tanpa harus tergoda oleh
gemerlapnya dunia
yang menyesatkan.
Untuk mencapai cita-cita ini, maka guru agama
harus mampu menjadikan pendidikan
agama fungsional dalam kehidupan
dan bersemayam dalam nurani peserta didik. Permasalahannya
adalah, bagaimana upaya guru agama dalam membelajarkan agama, sehingga peserta didik dengan
kesadaran diri mampu menanggulangi
pengaruh budayanegatif?
Pertanyaan inilah yang akan
dijawab dalam tulisan ini.
Kebiasaan Negatif: Sebuah Realitas Sosial
Dengan melihat realitas, kita akan menyaksikan betapa runyamnya pelanggaran
nilai-nilai agama di belahan muka bumi ini yang dilakukan oleh anak-anak "terpelajar". Misalnya, pelanggaran
yang terjadi di Amerika Serikat. Sebagaimana penelitian
Murphy (1998), bahwa para peserta didik di sekolah Amerika
sering melakukan tindakan
negatif, seperti: kekerasan dan perusakan (violence
dan vandalism), pencurian (stealing), penipuan (cheating),
ketidaksopnan pada kewibawaan (disrespect for authority),
kekejaman kelompok (peer cruelty), keras kepala (bigotry),
bahasa yang jelek atau ucapan kotor (bad language), penyimpangan
seksual dan minuman keras (sexual precocity and abuse), peningkatan
pemusatan diri dan kurangnya tanggungjawab sebagai warga negara (increasing
self-centeredness and declining civic responsibility), dan
tingkah laku merusak diri (self-destructive behavior). Tindakan-tindakan
tersebut, kalau kalau kita cermati, ternyata sudah hadir di sekitar kita dan
menjadi permasalahan
sosial tersendiri.
Bahkan pada tahun-tahun terakhir ini di Indonesia , ada
fenomena kekerasan yang terjadi terus-menerus dan di mana-mana dalam skala yang
makin luas dan serius. Semua itu seolah menjadi tontonan seluruh penduduk bumi
dan memberikan gambaran yang buruk mengenai citra Indonesia sebagai suatu negara
bangsa yang sedang berusaha untuk menuju masyarakat madani. Mengapa semua itu bisa terjadi pada bangsa kita,
yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa yang ramah, suka bergotong royong, suka
bertoleransi, suka hidup dalam damai dan kerukunan, dan berbudaya tinggi?
Dalam skala mikro di sekolah, sering terjadi pula
kenakalan peserta didik yang cukup membuat prihatin. Misalnya, berpindah-pindah tempat duduk, ramai,
gelisah dalam ruangan, menganggu teman, memukul/bertengkar, mengabaikan
pendidik, mengeluh, bertengkar yang keterlaluan, mencuri, dan merusak
benda-benda dalam ruangan. Kondisi tersebut mempertegas bahwa pendidikan agama yang
diberikan guru agama di sekolah belum menjadi sesuatu yang menjadi pengendali
dari perbuatan-perbuatan negatif.
Kenakalan atau pelanggaran tersebut, semakin lama bukan semakin berkurang,
tetapi justru semakin menunjukkan intensitas yang tinggi. Hal ini diantaranya
disebabkan oleh arus globalisasi dan informasi yang semakin menguat, yang
ditunjukkan dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, elektronika dan komunikasi.
Akibatnya, nilai
dan norma dunia cepat menyebar. Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya sikap
konsumerisme dan materialisme. Keberhasilan hanya akan diukur berdasarkan
ukuran-ukuran ekonomi dan kebendaan serta kebenaran hanya diukur dengan
kepentingan dan hak-hak individu, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan hak
orang lain. Sikap tersebut secara perlahan dan terus-menerus mengikis nilai-nilai luhur
bangsa, tidak hanya yang tinggal di kota-kota besar, bahkan sudah menyentuh
desa-desa yang terpelosok sekalipun. Oleh sebab itu, pendidikan agama
dewasa ini me nghadapi tantangan yang luar biasa berat, terutama dalam membangun kehidupan bersama
yang damai
dan aman
yang bersendikan nilai-nilai
religius.
Arus globalisasi tidak mungkin
dibendung, karena merupakan keharusan sejarah, yang mesti akan hadir dalam
relung kehidupan setiap bangsa dan negara. Untuk itu, upaya membangun filter dalam rangka menyaring berbagai informasi negatif merupakan kebutuhan vital. Di sinilah pentingnya para guru agama menghayati peran dan fungsinya, agar pendidikan agama yang
dibelajarkan mampu menghadapi realitas sosial tersebut.
Guru Agama dan Peran Pembelajaran
Dalam menghadapi tantangan global sekaligus realitas
sosial yang semakin meningkat intensitasnya tersebut, guru agama
harus mampu berperan
secara optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Dengan mengadaptasi pemikiran
Tilaar (1998), paling tidak ada tiga fungsi guru agama, yaitu: (1) sebagai
agen perubahan, (2) sebagai pengembang sikap moral, dan (3)
seorang pendidik profesional.
Pertama,
sebagai agen perubahan. Dalam
masyarakat global seperti sekarang ini, tidak ada sosok lain selain guru agama yang dapat berfungsi secara efektif untuk
menjadi agen perubahan, karena guru agama langsung dapat berhadapan dengan peserta didik (generasi muda) bahkan masyarakat pada
umumnya, seorang guru agama yang intelek dan berdedikasi tinggi merupakan unsur
yang paling terdepan dan strategis dalam membawa
peserta didik menuju pribadi muslim yang setiap gerak langkahnya
selalu bersendikan.
Kedua, sebagai pengembang sikap
moral. Secara jujur perlu kita akui, bahwa sekarang ini
masalah kerjasama antar peserta didik mulai terabaikan. Pertengkaran antar
teman terjadi di mana-mana, baik di sekolah maupun luar nilai-nilai religius sekolah. Bahkan kalau tidak diantisipasi secara dini, tidak mustahil akan muncul pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan minum-minuman keras di lingkungan sekolah. Dalam
kondisi yang demikian, peran guru agama sangat diperlukan untuk
menanamkan sikap saling pengertian dan toleransi terhadap sesama peserta didik.
Di sinilah diperlukan hubungan antar peserta didik yang “dewasa”, artinya perlu ditumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan dan kekurangan diantara sesama peserta didik tanpa memandang perbedaan kelas sosial, agama, suku,
ras, dan asal usulnya. Untuk itu sesuatu yang harus ditanamkan guru agama kepada peserta didik adalah sikap moral sebagai berikut: (1)
tolong-menolong dalam berbuat kebajikan, (2) (baik sangka) khusnudhon, (3) menghargai diri dan orang
lain, (4)
menerima tanggungiawab bagi perbuatan yang dilakukan sendiri, (5) positif terhadap pendidik dan teman sekelas, (6) menjaga milik sendiri
dan menjaga milik
teman lain, (7) ketepatan waktu mengerjakan
tugas pelajaran, dan (8) jujur, adil, dan bijaksana kepada diri sendiri dan
orang lain (Al-Maududi, 1983).
Ketiga, seorang
pendidik profesional. Guru
agama adalah salah satu pendidik pada suatu institusi pendidikan. Dia
dianggap profesional, bilamana memiliki daya abstraksi dan komitmen tingkat tinggi
(Glickman, dalam Bafadal, 1999).
Dengan kata lain, guru agama dikatakan profesional
kalau dia memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugasnya dan memiliki komitmen yang tinggi untuk
mengerjakan tugas berdasarkan kemampuannya. Seorang guru agama yang
profesional akan senantiasa melakukan sesuatu yang benar dan
baik (do the right thing and do it right). Konsekuensinya
adalah dia harus selalu mengembangkan tingkah laku
dan tindakan
strategis yang cermat dalam upaya membangun ruh islamiyah dan uswah hasanah di
lingkungan sekolah. Atau dengan kata lain, dia dapat bekerja keras dan
cerdas. Bekerja keras menunjuk pada kemampuan untuk malaksanakan tugas secara sungguh-sungguh,
cepat dan berbobot, sedang bekerja cerdas adalah melaksanakan sesuatu berdasarkan
pertimbangan peluang dan tantangan yang terjadi, sekaligus mampu membaca
“tanda-tanda zaman”. Artinya apa yang dikerjakan mempunyai nilai strategis untuk masa kini dan yang akan datang
dalam upaya pembentukan jiwa religius peserta didik.
Untuk
mendukung tiga fungsi tersebut, maka guru agama harus mempunyai seperangkat
kemampuan yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, dan ketrampilan sebagai
berikut: (1) kepribadian yang matang dan berkembang. Artinya seorang guru agama
mempunyai sifat-sifat fisik yang memungkinkan dia dapat membimbing peserta
didiknya yang sedang dalam tahap perkembangan
fisik dan moralnya, mempunyai ciri-ciri kepribadian yang kuat dan seimbang, dan
mempunyai visi tentang etika tingkah laku manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat; (2) penguasaan ilmu dan teknologi yang kuat. Artinya guru agama
dituntut untuk mampu membawa peserta didik memasuki dunia ilmu dan teknologi
yang terus berkembang, sebab apabila guru tidak menguasai ilmu dan teknologi
yang kuat, mustahil ha1 itu dapat dilakukan; (3) ketrampilan
membangkitkan minat peserta didik. Artinya penguasaan metodologis bagi guru agama sangat
diperluka n untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan
prakarsa belajar agama peserta didik dan (4) pengembangan profesi yang berkesinambungan, artinya
seorang guru agama harus berusaha untuk meningkatkan kualitas diri secara berkesinambungan
dengan mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi, karena ilmu pendidikan dan
keguruan serta teknologi terus berkembang pesat (Ghofir, 1999).
Apabila guru agama dapat melaksanakan peran dan
fungsi tersebut, maka
tidak mustahil pembelajaran pendidikan
agama akan memberikan
hasil yang optimal, yang pada akhirnya mampu membentuk pribadi muslim peserta didik.
Dengan demikian, budaya-budaya negatif yang muncul di
sekolah dapat ditekan seminimal mungkin.
Peran Guru Agama dalam
menanggulangi kebiasaan negatif
Sebagai guru agama harus dan menyadari bahwa dia akan selalu menghadapi
persoalan kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab profesi, yaitu: Pertama,
persoalan peserta didik dengan segala latar belakangnya,metode dengan
segala ragamnya, dan kurikulum dengan segala perangkatnya dan keharusan
peningkatan kualitas dan profesionalisme, terutama masalah pendidikan dan
pembelajaran yang kadang-kadang tidak sebanding
dengan tanggungjawab yang diembannya, yaitu membentuk kepribadian peserta didik.
Kedua, di tangan
guru agama perubahan anak manusia sebagian diserahkan untuk pembinaan spiritual
dan moral, di samping orang tua di rumah. Sebab berdasarkan kajian psikologis,
bahwa pengalaman seseorang sepanjang hidupnya akan lebih banyak diwarnai oleh
pengalaman dia di sekolah. Ini memberikan implikasi bahwa guru agama
harus siap berjuang dan mempunyai ghirah keilmuan
dan keagamaan yang tinggi serta cinta terhadap tugasnya. Karena dia dituntut
untuk dapat melahirkan anak bangsa menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan
bermoral serta spiritual yang kokoh.
Mukti Ali (mantan Menteri Agama RI)
mengatakan agar para guru agama tidak hanya sekedar melakukan
transformasi pengetahuan, tetapi juga melakukan tran-saksi dan trans-internalisasi. Karena pendidikan agama selama
ini masih lebih banyak bersifat transformasi dengan dukungan profesionalisme, sehingga hasilnya
adalah banyak peserta didik yang "pinter tapi ora bener”
(bahasa Jawa), atau pandai tapi
komitmen keislamannya relatif rendah (Muhaimin, 1992). Untuk itu agar tercipta
peserta didik yang "pinter lan bener’, maka pendidikan agama
harus diberikan secara mantap dan langsung menyentuh pada kepribadian peserta
didik.
Namun
demikian, upaya ini tidak akan berhasil
kalau tidak dilakukan secara kolektif oleh semua guru di sekolah. Untuk
itu, suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah para guru agama
perlu bekerjasama dengan guru-guru "non-agama"atau guru umum
dalam aplikasi dan implementasi Pendidikan Agama sehari-hari. Para guru agama perlu mengetahui nilai-nilai apa yang dapat
dikenalkan pada diri peserta didik melalui kegiatan pendidikan di
luar Pendidikan Agama, seperti Fisika, Kimia,
Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, dan Pendidikan Jasmani.
Penanaman nilai-nilai tersebut,
termasuk nilai
yang mendasari kehidupan ilmu dan teknologi serta nilai pengaturan
perubahan sosial budaya, akan
lebih berhasil kalau dilaksanakan sebagai
upaya kolektif, tanpa harus membebankan kepada guru agama semata (Muhaimin,
1992). Dengan ini diharapkan akan tercipta kegiatan afektif, dimana peserta didik akan
mempunyai kemampuan mempersepsi ilmu dan teknologi serta keadaan
lingkungan sosialnya berdasarkan kerangka normal.Agama,
sehingga peserta didik memiliki nilai dan sikap dasar mengenai etika sosial,
pandangan hidup, dan etos dunia yang berasal dari kesadaran religius.
Meskipun sebagai upaya kolektif, guru agama harus tetap sebagai pioner pendidikan agama,
karena mereka merupakan “penjaga moral” di sekolah. Untuk itu, guru agama
dituntut untuk selalu mengembangkan perkembangan ilmu dan teknologi yang
bersendikan nilai-nilai
islami, sehingga terdapat suasana yang komunikatif-religius dengan peserta didiknya.
Hal inilah yang akan membawa guru agama semakin eksis dan dicintai oleh peserta
didiknya. Karena itu, guru agama dalam mengikuti perkembangan zaman dituntut
untuk mempunyai ide dan pikiran yang dinamis, produktif dan inovatif,
sehingga peserta didik dalam pemahaman ilmu dan agamanya akan lebih
kritis kemampuan profesional, intelektual, moral dan spiritual untuk merangsang
terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, sehingga agama
fungsional pada diri peserta didik.
Untuk
mewujudkan semua itu, guru agama harus membekali diri dengan seperangkat
nilai, sikap, dan ketrampilan yang mencakup: kepandaian, ketrampilan,
ketelitian, kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, keterbatasan, kehormatan diri,
dan ketaatan menjalankan perintah agama, sehingga guru agama dapat menjadi uswah hasanah dan menjadikan peserta didik ber-akhlakul karimah. Akhlakul
kurimah
tidak hanya sekedar peserta didik dapat membedakan baik-buruk tetapi
lebih dari pada itu, akhlakul karimah dapat
tercemin dalam pribadi yang mandiri, jujur, disiplin, bertanggungjawab,
tidak pamrih, cinta ilmu, cinta kemajuan, kritis, dan suka bekerja keras
(Mudzhar, 1992).
Secara praktis-pragmatis, bekal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam
menjalankan tugas mendidik, mengajar dan memimpin dalam menghadapi berbagai
perilaku negatif di sekolah adalah:
- Guru
agama harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan informasi yang ada
di sekitarnya, guna dimanfaatkan untuk memudahkan pekerjaannya.
Pengetahuan dan pemahaman akan infomasi yang berkembang dapat memudahkan guru agama untuk
mengantisipasi dampak negatif yang mungkin dapat dibawa oleh informasi itu
ke sekolah.
- Guru
agama harus memahami: (a) tahaptahap perkembangan berfikir moral, dan
kepercayaan eksistensial peserta didik, (b) strategi
membelajarkan peserta didik berdasarkan kemajuan tingkat-tingkat kognitif,
efektif, dan psikomotorik, (c) budaya de-humanisasi, perbudakan dan
keberhalaan yang terkandung dalam benda-benda teknologi, dan (d) bahwa
pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, dan secara komplementer akan sejalan
dengan pembelajaran pada bidang ilmu, kesenian, dan kesusilaan.
- Guru
agama harus memahami bahwa pembelajaran yang berfokus pada kemajuan
kepercayaan eksistensial tidak berada dalam suasana vakum/kosong, tetapi
teruji dengan berbagai benda, perilaku, norma, nilai, ide, dan simbol
modem masyarakat industri. Disilah diperlukan kearifan bagi guru agama
dalam menterjemahkan produk-produk industri modern, supaya tidak terbawa
pada sikap konsumerisme dan hedonisme.
- Guru
agama harus memahami bahwa, pemilihan unsur-unsur budaya manapun, dan
pilihan strategi, metode, dan teknik pembelajaran apapun, tolok ukur keberhasilannya
adalah dampak pengiring yang mewujudkan pribadi muslim atau anak shaleh yang
termanifestasikan pada pribadi umat yang dewasa (Dimyati, 1995).
Apabila guru agama dapat
melaksanakan hal tersebut, akan melahirkan optimisme bahwa lembaga pendidikan yang
dibina, dimanapun juga, akan menjadi pilihan umat. Untuk itu, menjadi pilihan umat
dan selalu memberikan yang terbaik kepada semua umat harus menjadi bagian
penting dalam hidup seorang guru agama dan komitmen itu harus selalu bersemayam
dalam nuraninya.
Penutup
Karena
tantangan global sering menyebabkan budaya negatif di lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat, maka guru agama harus membekali diri dengan seperangkat
kemampuan agar mampu memberikan filter yang dapat digunakan untuk menyaring
berbagai budaya tersebut. Keunggulan guru agama bukan terletak
semata-mata pada pendidikan tinggi, tetapi pada dedikasi dan pengabdian yang
ditopang dengan profesionalisme dan wawasan yang luas. Apabila guru agama mampu
memenuhi hal tersebut, paling tidakakan mampu melaksanakan penggilan suci dalam
menyiapkan peserta didik
menjadi unggul dalam intelektual, moral, dan spiritual. Untuk itu, semua tugas dan
tanggungjawab yang diemban, meskipun dianggap gagal, janganlah dijadikan beban,
tetapi harus dinikmati sebagai panggilan suci semata-mata untuk beribadah
kepada Allah swt. Semoga kita
selalu mendapatkan lindungan dan ridla-Nya. Amin.
- Penulis, Dekan Fakultas Agama Universitas Mathla’ul
Anwar Banten. Ketua Perguruan Mathla’ul Anwar Pusat Menes.
- Tulisan ini telah diterbitkan/dipublikasikan di
harian Kabar Banten pada tanggal 31 Oktober 2011 dan 01 November
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar